Selasa, 23 Agustus 2011

POTRET BURAM MANUSIA INDONESIA
Ulasan Novel Senja di Jakarta



Sebagai cerita rekaan atau cerita khayalan, novel mengisahkan sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga  tidak perlu dicari kebenaraannya dalam dunia nyata. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner. Sedangkan realitas, sebagai lawan kata dari fiksi, adalah sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan secara empiris. Walaupun demikian, ada juga  fiksi yang tidak bisa menghindar dari  fakta-fakta yang bersifat realitas, seperti  peristiwa-peristiwa  bersejarah, baik bersifat lokal maupun nasional.
Novel  memang mempunyai daya tarik tersendiri karena menyajikan dunia imajiner yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dibandingkan dunia nyata. Seorang teman menyatakan  bahwa ia menyenangi novel-novel dengan  cerita yang menarik, dan  merasa terhibur oleh kisah – kisah imajiner  yang disajikan. Menurutnya, dengan membaca cerita fiksi dapat melupakan sejenak masalah-masalah duniawi serta melepaskan kejenuhan setelah seharian bergulat dengan pekerjaan.   Teman yang lain menjelaskan bahwa ia membaca novel termotivasi oleh dunia ilusi yang ada dalamnya.  Menurutnya, menelusuri  dunia khayal yang dihadirkan dalam sebuah novel seperti  memasuki alam-alam mimpi yang  mungkin sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis adalah sebuah novel yang menarik dibicarakan, bukan saja karena kehadirannya yang agak kontroversial  dalam khazanah sastra Indonesia, tetapi juga karena substansinya.  Sebelum terbit dalam bahasa Indonesia (Yayasan Obor, 1992),  Senja di Jakarta mula-mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963), kemudian terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Substansi Senja di Jakarta, sebagaimana halnya dengan novel-novel karya Mochtar Lubis yang lain seperti Tak Ada Esok, Tanah Gersang, Maut dan Cinta, dan Harimau!Harimau, berpijak pada tema-tema yang memang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah sosial masyarakat kelas bawah, masalah korupsi,  berbagai tindak penyelewengan,  masalah kebobrokan moral, dan kesetiaan suami istri. Tema-tema seperti ini adalah masalah yang tidak pernah ketinggalan zaman, yang selalu ada dalam kehidupan manusia di setiap kurun  waktu sehingga selalu menarik untuk dihadirkan sebagai tema cerita fiksi.
Bagaimana cara pengarang bercerita, terasa sekali dipengaruhi oleh siapa dan apa profesi pengarangnya. Sebagai  seorang wartawan , Mochtar Lubis  terbawa oleh  gaya jurnalistik dalam menuangkan tema-tema tersebut ke dalam alur cerita. Tema-tema seperti kemiskinan, korupsi, penyelewengan suami istri, dituangkan dalam bentuk lukisan-lukisan  peristiwa  layaknya reportase seorang wartawan. Potret-potret kejadian dikisahkan secara kronologis, menggunakan alur progresif,   dimulai dari peristiwa yang terjadi pada bulan Mei sampai akhir cerita pada bulan Januari, dengan tanggal dan tahun yang tidak disebutkan. Oleh karena tokoh-tokoh yang terlibat   sangat banyak dan beraneka ragam, dan  menyodorkan banyak permasalahan kepada pembaca, masing-masing tokoh disiapkan sebuah alur, konflik, dan latar yang berbeda-beda.
Alur Senja di Jakarta diawali dengan tokoh Saimun, Itam, dan Neneng yang terjebak oleh keras dan  kejamnya kehidupan kota Jakarta. Sebagai kaum urban yang tidak berbekal ijazah dan ketrampilan, mereka hanya bisa melakoni pekerjaan sebagai kuli  sampah dengan gaji yang tidak cukup untuk hidup sebulan.  Walaupun hidup miskin, mereka  tetap manusia  yang juga  punya mimpi-mimpi akan hidup yang layak dan berbahagia. Sudut pandang mereka tentang kebahagiaan sangatlah  sederhana, ukurannya hanya sebatang rokok kretek, seperti dilukiskah berikut ini :
Dia membeli sebatang  rokok ketengan, merasa dirinya agak salah terlalu royal, tetapi tidak dapat menahan seleranya mencium wangi cengkeh  dalam rokok, dan duduk mencangkung di pinggir jalan dekat selokan, merokok enak-enak. Hatinya tenteram , dan dia merasa damai dengan seluruh dunia dan manusia. Di kantong celananya ada uang dua puluh sembilan rupiah. Rasanya ia amat kaya.
(Senja di Jakarta, 1992 : 9).

Sebagai manusia dewasa,  mereka juga tidak bisa melupakan insting-insting primitif yang harus disalurkan. Walaupun hidup miskin, Saimun dan Itam  tak bisa menghindar dari  godaan nafsu birahi.  Neneng, perempuan muda yang tinggal di tempat pembuangan sampah, menjadi tempat pelampiasan kejantanan mereka. Bagaimana  orang miskin, seperti Saimun, menyalurkan gairah sex, dilukiskan oleh Mochtar Lubis  dari sudut pandang lain, jauh dari kesan pornografi, tetapi lebih menekankan pada pengakuan superior seorang lelaki , meskipun ia miskin.
Apa yang membakar tubuhnya dalam pelukan perempuan seakan memusnahkan lapar yang menggigit-gigit perutnya, memberikan perasaan kekuasaan dan kekuatan dalam dirinya, bahwa dia juga adalah lelaki, adalah manusia, dan dalam saat-saat demikian dia jantan dalam hidup, dan nafas hidup bertiup kencang dalam dirinya dan rintihan dan jeritan perempuan di bawahnya adalah karena tubrukan kekuatan kelelakiannya. Semakin perempuan itu merintih, semakin dia merasa jantan dan berkuasa, dan dia merasa dirinya besar dan kuat, dan bukan tukang sampah kecil yang tiada berarti.
             (Senja di Jakarta, 1992 : 33)
Di kehidupan lain, Suryono,  seorang pegawai negeri yang masih muda,  anak Raden Kaslan, seorang pengusaha kaya dan anggota Partai Indonesia yang berkuasa saat itu, mempunyai kehidupan yang sangat berbeda dengan Saimun,  yaitu hidup bergelimangan kekayaan dan kemewahan. Suryono  tidak perlu bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi gaya hidupnya yang  hedonis. Sebagaimana halnya dengan Saimun , Suryono pun digambarkan  tidak kuasa menahan gejolah nafsu birahi khas anak muda. Ia pun terjebak  dalam petualangan cinta dengan beberapa perempuan . Ia bebas bercinta dengan Fatma, ibu tirinya yang masih muda, yang  kerap kesepian ditinggal pergi oleh Raden Kaslan. Ia juga bebas  bercinta dengan Dahlia, wanita muda yang sedang  kesepian karena selalu ditinggal tugas ke luar kota oleh suaminya, Idris.
Tokoh-tokoh  seperti Saimun, Suryono, Fatma, dan Dahlia yang terlibat dalam perselingkuhan, dilukiskan oleh si pengarang  apa adanya, tanpa malu-malu, tetapi tidak vulgar. Seolah-olah apa yang mereka lakukan hanya sebuah permainan yang menyenangkan, yang mereka lakukan tanpa ada cinta, dan perasaan bersalah. Kutipan berikut ini menegaskan hal itu.
Demikianlah diciumnya tengkuk Fatma di atas tempat tidurnya pagi itu. Hujan gerimis masih turun di luar, dan dia merasa dada Fatma menjadi kencang dan tegang di bawah tangannya dan perempuan itu memeluknya kuat-kuat mencium mulutnya, dan kemudian tiba-tiba merengutkan dirinya dan berlari ke pintu.
“Aduh, engkau nakal benar,”serinya, membuka pintu dan pergi ke luar.
             (Senja di Jakarta, 1992 : 15)
Tokoh Fatma  ternyata  mempunyai kemiripan dengan tokoh Fatimah dalam Jalan Tak Ada Ujung. Fatimah adalah istri Guru Isa yang impoten. Sedangkan Fatma adalah istri Raden Kaslan, seorang pengusaha yang sibuk. Kedua wanita itu sama-sama dikisahkan berkianat pada suaminya. Keduanya melakukan perbuatan tak senonoh itu karena sang suami tidak mampu lagi melakukan kewajibannya  sebagai lelaki normal.
Senja di Jakarta seolah-olah merupakan potret buram manusia Indonesia, yang mengambil latar  masa-masa awal berdirinya negara Republik Indonesia. Sebagai negara baru, kehidupan sosial, politik, dan ekonomi pun dalam keadaan carut marut dan tidak menentu. Kondisi pemerintahan yang labil, masalah ideologi negara yang belum mapan, dan  perekonomian yang sulit berkembang, menjerat anggota masyarakat berbuat anarkis, dan terdesak untuk melakukan perbuatan tak bermoral.
Dengan alasan  penggalangan dana partai untuk persiapan menghadapi pemilu, orang-orang Partai Indonesia membuat sebuah konspirasi  dengan cara  membentuk perusahaan-perusahaan  fiktif, dengan keuntungan 50% untuk partai dan 50% masuk kantong pribadi. Persengkongkolan jahat ini berawal dari Husin Limbara, ketua Partai Indonesia, yang memandang partai perlu dana cepat untuk menghadapi pemilu. Ide membentuk NV-NV kosong datang dari Raden Kaslan, seorang pengusaha kaya yang juga anggota Partai Indonesia. Lesensi pendirian usaha-usaha fiktif itu bisa keluar berkat  Sugeng, seorang pegawai negeri di Kementerian Perekonomian. Keterlibatan Sugeng dalam praktek korupsi tersebut, semula hanya untuk mewujudkan  janji pada istrinya yaitu mereka sudah punya rumah sendiri sebelum bayi kedua mereka lahir ke dunia. Untuk menangkal pemberitaan media massa tentang perbuatan jahat mereka, Halim seorang wartawan yang licin dan licik disuruh membuat pemberitaan yang menguntungkan partai Indonesia. Sedangkan Suryono hanya berperan sebagai salah satu direktur NV-NV palsu yang mereka bentuk. Semula ia tidak bersedia ikut serta di dalamnya karena ia seorang pegawai negeri, tetapi setelah diiming-imingkan  mendapat keuntungan finansial yang sangat banyak, ia menerima tawaran ayahnya, dan  mundur sebagai pegawai negeri.
Konspirasi pembentukan perusahaan-perusahaan fiktif oleh Raden Kaslan, Husin Limbara, Halim, Sugeng, dan Suryono yang akhirnya diketahui oleh Partai Oposisi , menjadi konflik utama alur Senja di Jakarta.  Namun demikian, konflik lain juga muncul dalam bentuk diskusi panjang dan melelahkan tentang ideologi  yang cocok untuk negara  Indonesia serta kesiapan moral bangsa Indonesia menerima modernisasi. Dalam diskusi-diskusi yang diadakan oleh tokoh-tokoh intelektual muda itu,  pengarang menyampaikan pandangan-pandangan ideologinya lewat tokoh  Pranoto, seorang pengarang esai yang terkenal, yang menginginkan sebuah bangsa dan negara yang demokratis. Lewat  tokoh Murhalim seorang pegawai negeri muda, serta   melalui tokoh Ies seorang wanita cantik dan cerdas,  yang  memandang bahwa Islam sebagai sebuah agama  mempunyai peran penting dalam kehidupan politik bangsa Indonesia.  Sementara Akhmad, pemimpin buruh,  penganut ideologi komunis, seorang yang sangat idealis dan kukuh  dengan prinsip-prinsip markisme bahwa keadilan bagi rakyat kecil dapat terwujud  apabila kaum berjuis disingkirkan dari bumi ini.     Sedangkan  Suryono sebagai tokoh utama Senja di Jakarta, yang  juga merupakan salah satu anggota dari  kelompok diskusi tersebut, mempunyai pandangan pragmatis tentang ideologi suatu negara. Hanya saja, sebagai seorang oportunis, ia juga punya tujuan lain terlibat dalam diskusi-diskusi tersebut yakni  agar dapat lebih dekat dengan Ies, gadis yang menarik hatinya.
Puncak dari semua konflik, yakni terbongkarnya praktik manipulasi dan korupsi yang dilakukan oleh Raden Kaslan dan komplotannya.  Para pelaku yang terlibat praktek penyelewengan itu, Raden Kaslan dan Sugeng   ditangkap polisi. Suryono tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika ia dan Fatma melarikan diri ke Puncak dalam rangka menghindarkan diri sebagai saksi perbuatan jahat ayahnya. Sedangkan Murhalim tewas secara mengenaskan setelah mencoba menenangkan massa yang kalap ketika mereka hendak merampas dan membakar sebuah toko sembako. Ia tewas mengenaskan ditangan Itam, dan Itam tewas ditembak polisi.
Akhir cerita novel ini sangat mengejutkan. Saimun yang berperan  mengawali alur Senja di Jakarta, berperan pula dalam  menutup cerita. Sementara Suryono, Murhalim, dan Itam tewas   secara tragis, serta  Sugeng dan Raden Kaslan ditangkap  oleh Polisi, Saimun justru berbahagia, karena  bertemu kembali dengan Neneng, gadis idamannya. Secara tidak sengaja ia berjumpa dengan gadis yang pernah diajaknya hidup segubuk itu, saat   ingin melihat mayat Itam di kantor polisi. Saimun menyaksikan  gadis itu ditangkap polisi karena melacurkan diri di pinggir jalan dan  diangkut dengan truk ke kantor polisi. Mochtar Lubis melukiskan pertemuan kedua manusia itu dengan lugas dan lugu.
Tapi malam itu Neneng takut sekali, dan melihat Saimun hatinya girang.
“Aduh, Kak” katanya “tolong aku. Kalau ada yang ngaku laki, katanya boleh pulang sekarang.”
“Neng, aku mau, “ kata Saimun, “kita nikah saja nanti, kita pulang ke kampung. Buat apa hidup di kota tidak karuan seperti ini? Engkau mau?” Saimun berkata tanpa berpikir lebih dahulu.
Neneng pun ingat pada kampung, dan merasa ketenagan hidup dalam kampung, lepas dari kerja seperti selama ini dilakukannya, yang tidak pernah bebas dari ketakutan – takut segala macam lelaki kasar yang suka memaksanya melakukan macam-macamyang tidak patut, takut pada polisi, takut pasa hari siang, takut pada hari malam, takut yang tidak habis-habisnya, dan Neneng mengangguk kepada Saimun.
            (Senja di Jakarta, 1992 : 290)
          Tema cerita  tentang tentang masalah sosial politik seperti korupsi, penyelewengan, dan kemiskinan memang  mengharuskan  sebagian besar tokoh pelaku cerita mempunyai karakter negatif yang tidak perlu dikagumi , seperti berselingkuh, korupsi,dan berbuat  kriminal. Latar situasi dan kondisi kota besar Jakarta di tahun 1960-an yang tidak stabil, memberi peluang kepada orang-orang yang berwatak hedonis untuk berbuat tidak senonoh. Suryono, sebagai tokoh utama digambarkan sebagai orang yang tidak mempunyai sifat terpuji. Ia seorang oportunis. Selalu mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, peragu, dan tidak punya prinsip jelas dalam bertindak.   Seharusnya pengarang menghadirkan seorang tokoh  protagonis yang berantagonis dengan Suryono. Hanya tokoh Ies yang berani menentang dan menyalahkan perbuatan Suryono. Ies menolak cinta Suryono dan berpaling pada Pranoto. Barangkali pengarang sengaja tidak mau terjebak kepada pada konflik cinta segi tiga antara Suryono, Pranoto, dan Ies.
                  Mochtar Lubis rupanya lebih menitikberatkan pesan moral dan kritik sosial daripada unsur cerita , terlihat dari alur yang lebih terfokus pada peristiwa manipulasi yang dilakukan oleh oleh Raden Kaslan dan Sugeng serta akibat-akibat dari terbongkarnya persengkongkolan mereka, seperti tewasnya Suryono, dan gugurnya bayi yang dikandung oleh Hasnah, istri Sugeng.  Unsur cerita yang merupakan daya tarik sebuah fiksi  kurang ditonjolkan dalam novelnya. Pengagarang lebih mengutamakan pesan moral dan kritik sosial yang disampaikan secara  tidak langsung lewat  tingkah laku dan sikap para tokoh dalam  menghadapi konflik. Menjadi masuk akal, bila mana tokoh-tokoh dalam novel itu sebagian besar berwatak  buruk, seperti Suryono, Fatma, Dahlia, Sugeng, Raden Kaslan, Husin Limbara, Halim, Akhmad, dan Yasrin. 
                  Dalam menyampaikan pesan moral dan kritik sosial, pengarang sangat pintar menempatkan dirinya. Ia tidak ingin  menggurui pembaca, tetapi hanya menyodorkan lukisan-lukisan kejadian  perbuatan manusia yang tidak bermoral, baik dilakukan oleh tokoh utama maupun tokoh pelengkapnya. Apa yang dilakukan oleh Suryono dan Fatma, seperti kutipan berikut ini, menegaskan hal itu.
Dalam hatinya Suryono mulai merasa senang. Benar ayahnya yang salah untuk semua ini. Karena ayahnya ia menjadi terbawa-bawa. Dia sendiri, waktu pulang dari luar negeri tidak ada maksud mau ikut-ikutan menimbun uang. Ayahnya yang bersalah. Dibandingkan dengan kesalahan ayahnya, maka perbuatannya dengan Fatma jadi ringan.
“Kalau aku bercerai dengan ayahmu, engkau mau mengawini aku?” kata Fatma kemudian.
“Sekarang pun aku mau kawin dengan engkau,”balas Suryono cepat.
Fatma tiba-tiba memegang nasib manusia di tangannya, yang dapat dibelokkan  kemana saja sesuka hatinya. Hidup raden Kaslan, suaminya, dan hidup Suryono, anak Raden Kaslan, sepenuhnya berada di tangannya kini. Dia merasa senang juga karena tahu akan kekuasaannya ini.
               (Senja di Jakarta, 1992 : 259)

               Walaupun novel ini  mempunyai cerita yang tidak semenarik Jalan Tak Ada Ujung, tidak seseru Maut dan Cinta,  Senja di Jakarta  adalah sebuah fiksi yang menawan,  karena memiliki konflik yang cukup kuat  dan perwatakan yang  cukup mendalam. Hanya saja, pengarang rupanya tidak bisa menghindar dari tradisi turun-temurun, yaitu selalu mematikan tokoh cerita yang berperingai buruk..  Tokoh bejat seperti Suryono, di mata Mochtar Lubis, tidak cocok hidup di sebuah negara yang berideologi Pancasila, maka layak dsingkirkan Namun, ia merasa  berkewajiban membela rakyat kecil, lewat tokoh Saimun dan Neneng, yang  dipertemukannya kembali dan diberikannya harapan akan kehidupan yang lebih baik, yaitu hidup di desa.
                  Yang tidak bisa dipungkiri, novel Senja di Jakarta seolah-olah sebuah  rekaman tingkah laku manusia Indonesia yang  hidup di kota besar  Jakarta,dalam kurun waktu tahun 1960-an, yang  mengingkari nilai-nilai moral maupun nilai agama. Korupsi, penyelewengan suami-istri, dan tindakan kriminal mereka lakukan bukan semata-mata karena  kehidupan sosial ekonomi yang memprihatinkan, dan sistem pemerintahan yang belum mapan, melainkan karena manusia memang mempunyai naluri untuk berbuat buruk di samping insting untuk berbuat baik. Bisa jadi fiksi ini sebuah cermin bagi manusia-manusia Indonesia yang hidup saat ini.


Kuta, 28 Juni 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar